Kerajaan Hindu Terbesar di Indonesia: Jejak Sejarah yang Mengagumkan
Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan sejarah dan budaya. Salah satu babak penting dalam sejarahnya adalah periode ketika berbagai kerajaan Hindu berdiri megah di berbagai pulau. Kerajaan-kerajaan ini tidak hanya mempengaruhi perkembangan politik dan ekonomi, tetapi juga membentuk budaya, seni, dan agama masyarakat Indonesia. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi kerajaan Hindu terbesar di Indonesia, melihat perjalanan sejarahnya, dan memahami warisan yang ditinggalkannya bagi generasi selanjutnya.
5 Kerajaan Hindu Terbesar di Indonesia
Timeline Kerajaan Hindu Terbesar di Indonesia:
- Abad ke-4 M: Kerajaan Tarumanagara
- Didirikan di daerah yang kini dikenal sebagai Jawa Barat, Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Kerajaan ini dipimpin oleh Raja Purnawarman yang terkenal karena prestasinya dalam memajukan pertanian dan irigasi.
- Abad ke-7 M: Kerajaan Sriwijaya
- Berpusat di Sumatra, Sriwijaya menjadi kekuatan maritim yang dominan di Asia Tenggara. Kerajaan ini dikenal karena kemajuan dalam bidang perdagangan dan pengaruhnya dalam penyebaran agama Buddha dan Hindu.
- Abad ke-8 M: Kerajaan Mataram Kuno
- Terletak di Jawa Tengah, Mataram Kuno dikenal karena dua dinasti pentingnya: Sanjaya dan Syailendra. Keduanya berkontribusi dalam pembangunan candi-candi megah yang menjadi simbol kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia.
- Abad ke-13 M: Kerajaan Majapahit
- Majapahit, yang didirikan oleh Raden Wijaya, merupakan kerajaan Hindu terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-14, dengan kekuasaan yang membentang dari Sumatra hingga Papua.
- Abad ke-16 M: Kerajaan Sunda
- Meskipun tidak sebesar Majapahit, Kerajaan Sunda tetap memiliki peranan penting dalam sejarah Jawa Barat dan memberikan kontribusi pada perkembangan budaya di wilayah tersebut.
Kerajaan Kutai Martapura
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Sarip dalam bukunya Kerajaan Martapura dalam Literasi Sejarah Kutai 400–1635 (2021), kerajaan Hindu tertua di Nusantara ternyata adalah Kerajaan Martapura, yang terletak di Kecamatan Muara Kaman. Ini berbeda dengan anggapan umum yang menyebut Kutai Kertanegara sebagai kerajaan tertua, yang baru berdiri pada abad ke-14. Penemuan Prasasti Yupa, berupa tujuh batu bertulis yang ditemukan pada tahun 1879 dan 1940, menjadi bukti utama.
Prasasti Yupa ini mayoritas menceritakan kejayaan masa pemerintahan Raja Mulawarman. Kini, ketujuh Yupa tersebut tersimpan di Museum Nasional. Selain itu, kitab klasik berjudul Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara, yang ditulis oleh Khatib Muhammad Thahir pada tahun 1849, menjadi sumber sejarah penting mengenai Kerajaan Kutai Kertanegara. Kitab ini ditulis dalam aksara Jawi, dengan bahasa Melayu, dan dapat menjadi rujukan sejarah meskipun terdapat unsur mitologis.
Penemuan Yupa ini membuka jalan bagi pemahaman lebih mendalam tentang sejarah kerajaan tertua di Nusantara. Sarip juga mengidentifikasi tiga tokoh penting dalam Kerajaan Kutai Martapura yang tercantum dalam Yupa: Kundungga (yang oleh para brahmana Hindu disebut sebagai ayah pendiri kerajaan), Aswawarman (putra Kundungga dan raja pertama Martapura), dan Mulawarman (putra Aswawarman, terkenal karena dermawan dengan menyumbangkan 20.000 ekor sapi).
Namun, tidak ada catatan jelas tentang siapa yang meneruskan kepemimpinan setelah Mulawarman. Dalam kajian yang lebih lanjut, Muhammad Fahmi (2016) menyebutkan beberapa nama raja lain yang pernah memerintah Kerajaan Kutai Martapura, mulai dari Maharaja Kundungga Anumerta Dewawarman hingga Maharaja Dermasatia, yang merupakan raja terakhir sebelum kerajaan ini runtuh akibat perang dengan Kutai Kertanegara pada tahun 1635.
Perang tersebut berlangsung selama tujuh hari dan berakhir dengan kematian Dermasatia, menandai keruntuhan Kerajaan Martapura dan pengambilalihan wilayah oleh Kutai Kertanegara, yang kemudian menambah nama Martapura menjadi Kutai Kertanegara ing Martapura.
Meskipun Kerajaan Kutai secara resmi berakhir pada tahun 1960, sejak tahun 2001, kerajaan ini dihidupkan kembali sebagai bentuk pelestarian sejarah dan budaya, meskipun tanpa kekuasaan pemerintahan. Sekarang, nama kerajaannya dikenal sebagai Kutai Kartanegara ing Martadipura, dengan perbedaan ejaan yang memicu diskusi di kalangan sejarawan. Sarip menilai perubahan nama ini tidak terlalu signifikan, tetapi penambahan suku kata “di” pada “Martadipura” dipandangnya tidak perlu.
Baca Juga : Thanat Khoman: Tokoh Diplomat Asia Tenggara yang Menginspirasi Dunia
Kerajaan Tarumanagara
Tarumanagara, yang juga dikenal sebagai Kerajaan Taruma, adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat Pulau Jawa dari abad ke-5 hingga abad ke-7 M. Kerajaan ini merupakan salah satu yang tertua di Nusantara, meninggalkan berbagai catatan sejarah dan artefak yang menunjukkan bahwa Tarumanagara adalah kerajaan Hindu aliran Waisnawa.
Nama “Tarumanagara” berasal dari kata “taruma,” merujuk pada sungai Ci Tarum yang membelah Jawa Barat, dan “nagara,” yang berarti kerajaan. Peninggalan arkeologis di muara Ci Tarum, seperti Percandian Batujaya dan Percandian Cibuaya, diperkirakan merupakan bagian dari peradaban Kerajaan Tarumanagara.
Salah satu bukti sejarah keberadaan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Ciaruteun, yang ditemukan di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Ditemukan pada tahun 1863, prasasti ini terbagi menjadi dua bagian: Prasasti Ciaruteun A, yang ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta, serta Prasasti Ciaruteun B, yang memiliki goresan telapak kaki dan motif laba-laba yang belum terungkap maknanya.
Prasasti ini menggambarkan Raja Purnawarman sebagai raja yang perkasa. Panjangnya mencapai 2 meter, tingginya 1,5 meter, dan beratnya sekitar 8 ton. Teks prasasti ini menyatakan bahwa telapak kaki Raja Purnawarman mirip dengan telapak kaki Dewa Wisnu, yang menunjukkan status dan kekuasaannya.
Informasi tambahan mengenai Kerajaan Tarumanagara juga datang dari catatan perjalanan Fa-Hien, seorang penjelajah Tiongkok yang mencatat keberadaan kerajaan ini pada awal abad ke-5. Dia mengungkapkan bahwa di Jawa, terdapat banyak orang brahmana dan animisme, serta mengunjungi Ye-Po-Ti, yang diyakini merujuk pada Javadwipa.
Para raja yang memimpin Kerajaan Tarumanagara antara lain Jayasingawarman, Dharmayawarman, Purnawarman, hingga Linggawarman. Kerajaan ini berkembang pesat selama masa pemerintahan Purnawarman, yang diperkirakan menguasai hampir seluruh wilayah Jawa Barat.
Baca Juga : 11 Negara Anggota ASEAN: Profil, Peran, dan Fakta Menarik
Kerajaan Bedahulu
Kerajaan Bedahulu, atau Kerajaan Pejeng, merupakan kerajaan kuno yang berdiri di Pulau Bali antara abad ke-8 hingga abad ke-14. Pusat pemerintahan terletak di sekitar Pejeng atau Bedulu, Kabupaten Gianyar, dan didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa dari Dinasti Warmadewa.
Kerajaan ini dipimpin oleh beberapa keluarga raja, meskipun pergantian kekuasaan antar keluarga tidak selalu tercatat secara jelas. Salah satu raja terkenal dari Dinasti Warmadewa adalah Raja Udayana, yang memerintah antara tahun 989 hingga 1011. Pada masa pemerintahan Dinasti Warmadewa, agama Buddha menjadi agama pertama yang berkembang di Bali, sebelum akhirnya diikuti oleh agama Hindu.
Pura Samuan Tiga di Bali merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang berasal dari Kerajaan Bedahulu, mencerminkan warisan budaya yang kaya dari kerajaan ini.
Kerajaan Medang
Jejak awal Kerajaan Medang terukir dalam prasasti Canggal yang ditemukan di kompleks Candi Gunung Wukir, terletak di Dusun Canggal, barat daya Kabupaten Magelang. Prasasti yang ditulis dalam bahasa Sanskerta dengan aksara Pallawa ini menceritakan kisah pendirian Siwalingga, simbol yang melambangkan Siwa, di daerah Kuñjarakuñjadeça, sebuah wilayah di pulau Yawadwipa (Jawa) yang dikenal akan kesuburan tanahnya yang melimpah dengan beras dan emas.
Pendirian lingga ini dilakukan atas perintah Raja Sanjaya, yang mewarisi kepemimpinan setelah Raja Sanna. Raja Sanna dikenal sebagai pemimpin yang bijak dan adil, seorang perwira yang handal di medan perang, serta dermawan terhadap rakyatnya. Namun, setelah wafatnya Sanna, negeri ini terjebak dalam kesedihan dan perpecahan. Sanjaya, putra Sannaha (saudara perempuan Sanna), kemudian mengambil alih kekuasaan dan berhasil menyatukan kembali wilayahnya. Di bawah pemerintahannya yang bijak, Sanjaya membawa kedamaian dan kemakmuran bagi rakyatnya.
Kisah Sanna, Sannaha, dan Sanjaya juga dicatat dalam Carita Parahyangan, sebuah naskah yang disusun pada akhir abad ke-16. Meskipun isi manuskrip tersebut tampak lebih dramatis dan tidak memberikan rincian spesifik tentang periode tersebut, nama dan tema cerita dalam Carita Parahyangan mencerminkan kesamaan yang kuat dengan isi Prasasti Canggal, menunjukkan bahwa kisah tersebut terinspirasi dari peristiwa sejarah yang nyata.
Selama masa pemerintahan Rakai Panangkaran hingga Dyah Balitung (760–910), Kerajaan Medang mencapai puncaknya dalam peradaban Jawa kuno. Dalam periode 150 tahun ini, seni dan arsitektur Jawa kuno berkembang pesat, terlihat dari berdirinya berbagai candi dan monumen megah yang mendominasi cakrawala dataran Kedu dan Kewu. Di antara candi-candi yang terkenal, Candi Sewu dan Prambanan menjadi simbol kejayaan arsitektur dan spiritualitas kerajaan ini.
Kerajaan Kalingga
Kerajaan Kalingga, atau dikenal juga sebagai Kerajaan Ho-ling dalam sumber-sumber Tiongkok, merupakan kerajaan Hindu-Buddha pertama yang muncul di pantai utara Jawa Tengah pada abad ke-6 Masehi, seiring dengan lahirnya Kerajaan Kutai dan Tarumanagara. Nama Ho-ling kemungkinan muncul pada abad ke-5 dan diyakini terletak di utara Jawa Tengah.
Informasi tentang Kerajaan Ho-ling diperoleh dari catatan sejarah Tiongkok yang mencatat keberadaannya. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, yang mengintegrasikan kerajaan ini ke dalam jaringan perdagangan yang luas, bersama Kerajaan Melayu dan Tarumanagara yang telah lebih dulu ditaklukkan. Ketiga kerajaan ini menjadi pesaing kuat dalam jaringan perdagangan yang dikuasai Sriwijaya, memperkuat posisi kerajaan tersebut sebagai pusat perdagangan utama di Asia Tenggara.
Mempelajari sejarah kerajaan Hindu di Indonesia memberikan kita wawasan yang lebih dalam tentang identitas dan budaya bangsa ini. Warisan yang ditinggalkan oleh kerajaan-kerajaan tersebut sangat berharga dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa.
Bagi yang ingin mendalami lebih lanjut tentang sejarah, budaya, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya, ayo daftar dan belajar di Aplikasi Belajar dari StudioBelajar. Bersama kita gali pengetahuan yang akan memperkaya wawasan dan memperkuat jati diri kita sebagai bangsa yang kaya akan sejarah.
