Perlawanan Rakyat Kalimantan

Wilayah Pulau Kalimantan pada masa VOC tidak banyak diberitakan dalam beberapa sumber. Hal ini dikarenakan VOC fokus untuk berdagang dan menguasai wilayah-wilayah yang merupakan penghasil atau bandar strategis bagi rempah-rempah. Sementara Maluku dianggap sebagai sumber rempah-rempah yang beraneka ragam dengan jumlah yang besar. VOC dan kekuatan Eropa lainnya tidak menaruh perhatian lebih pada Kalimantan. Baru setelah Pemerintah Kolonial mengambil alih dan mengemukakan jargon Pax Nederlandica, kekuasaan teritorial dikedepankan dan wilayah tersebut dapat diambil keuntungannya. Kalimantan sebagai pulau terbesar, tentunya tidak luput dari perhatian.

Kalimantan sendiri merupakan pulau dengan hutan tropis yang besar, peradabannya menghasilkan lada, beras, dan banyak komoditas lainnya. Terlebih setelah memasuki abad ke-19, revolusi industri membutuhkan batubara. Bumi Kalimantan menyimpan cadangan batubara yang sangat besar, membuatnya semakin berharga bagi Belanda. Ketika Jepang menyerbu pada tahun 1942, Kalimantan juga diketahui memiliki cadangan minyak bumi yang vital bagi akomodasi alat-alat perang Jepang. Mengakibatkan Kalimantan menjadi sasaran aksi sewenang-wenang, sehingga memunculkan beberapa perlawanan rakyat untuk mengusir Belanda dan Jepang.

Lihat juga materi StudioBelajar.com lainnya:
Perlawanan Rakyat Sulawesi
Perang Aceh
Kerajaan Majapahit

Perlawanan Rakyat Kalimantan Barat terhadap Belanda

Perlawanan rakyat Kalimantan Barat dimulai ketika pada tahun 1840-an, Belanda berusaha untuk menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Sungai Kapuas. Salah satunya Kerajaan Sintang yang hendak melakukan suksesi karena rajanya merasa sudah tua. Belanda turut mencampuri urusan kerajaan dengan menganggap Pangeran Ratu, patih kerajaan pantas menjadi raja. Hal ini didasarkan pada keadaan Panembahan Kusumanegara yang masih muda. Meski usul tersebut ditolak, Belanda dapat memperbaharui perjanjian dagang pada tahun 1855. Perjanjian ini merugikan punggawa kerajaan karena menghapus banyak keuntungan bangsawan untuk diberikan kepada Belanda. Hal ini memicu ketidakpuasan di kalangan bangsawan Kerajaan Sintang, sementara raja tidak merasa terganggu karena dikompensasi oleh Belanda.

Patih kerajaan, Pangeran Ratu mengajak beberapa bangsawan lain yaitu Pangeran Kuning, Pangeran Anom, dan Pangeran Muda untuk bertemu membahas permasalahan ini. Kesimpulan yang dicapai adalah akan diadakannya mobilisasi pengikut untuk menghadapi Belanda. Ketegangan pertama terjadi pada Oktober 1856 ketika Letnan Dua J.E. Sachse dibunuh oleh sekawanan orang. Kejadian ini memicu perhatian Pejabat Residen Borneo Barat, Letkol W.E. Kroesen yang kemudian hadir ke Sintang untuk bertemu Pangeran Ratu. Namun hal ini tidak berhasil meredakan keadaan karena Pangeran Ratu telah mengundurkan diri dari jabatan patih dan bersiap dengan pengikutnya. Sementara itu Panembahan Kusumanegara tidak mampu mengendalikan keadaan, menyingkir dari ibukota. Pertempuran tinggal menunggu waktu untuk pecah antara rakyat melawan Belanda.

Pada tanggal 12 November 1856, pasukan Dayak dan Melayu berjumlah 2.500 orang bersiap menyerbu benteng Belanda di Sintang yang dijaga oleh 146 serdadu dan 3 meriam. Belanda juga mendatangkan kapal penjelajah bermeriam untuk berjaga di pelabuhan. Penyerangan ini dipimpin oleh Pangeran Prabu dan Haji Muhamad Saleh. Namun karena perbedaan teknologi senjata, benteng tidak tertembus dan penyerang mengundurkan diri ke hutan-hutan. Bangsawan penentang Belanda ini mengubah strategi dengan menguasai jalur perdagangan ke Sintang, sehingga barang-barang tidak masuk ke sana.

Belanda kemudian memperkuat armada perangnya dan melakukan penyisiran ke wilayah pertahanan lawan. Kediaman Pangeran Kuning dan Pangeran Prabu diluluhlantakkan, kekalahan ini membuat Pangeran Ratu menyerahkan diri. Ia diadili kemudian dibuang ke Jawa, hal ini belum menyurutkan semangat bangsawan lain untuk melawan. Namun pada akhirnya perlawanan ini surut karena kematian pemimpin-pemimpinnya yang sudah lanjut usia. Kroesen mengultimatum untuk menghentikan perlawanan sebelum dibabat habis. Ade Unut, putra Pangeran Muda dan cucu Pangeran Anom hadir untuk bernegosiasi. Namun ia dan keluarganya ditangkap sehingga perlawanan dapat diakhiri.

Perlawanan Rakyat Kalimantan Selatan terhadap Belanda

Perlawanan terhadap Belanda di Kalimantan Selatan terpusat di Banjarmasin, kerajaan kaya di pesisir selatan. Banjarmasin merupakan penghasil lada, rotan, damar, emas, dan intan sehingga menarik perhatian bangsa Eropa. Pada tahin 1734, dijalin hubungan dagang antara Belanda dan Sultan Tahlilillah. Belanda memulai pergerakan politiknya dengan membantu Pangeran Nata menyingkirkan Pangeran Amir untuk menjadi Sultan. Ketika naik tahta, Pangeran Nata harus menyerahkan seluruh wilayah Banjarmasin. Sebagian diambil penuh oleh Belanda, sebagian dipegang Sultan namun hanya sebagai pinjaman. Perjanjian ini terus diperbaharui setiap penguasa baru naik tahta, dan semakin mengecilkan pengaruh kerajaan.

Pada tahun 1857 terjadi kekacauan di keraton karena Sultan Adam hendak menjadikan Prabu Anom menjadi Sultan. Belanda menolak, dan kemudian mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai sultan. Usulan untuk menjadikan Prabu Anom sebagai mangkubumi pun ditolak, selain itu ditolak pula usul untuk menjadikan Pangeran Hidayat sebagai Raja Muda. Belanda dianggap telah melampaui batas, dan di sisi lain Pangeran Tamjidillah tidak disukai karena bukan putra bangsawan, mendukung Belanda, dan menghina Islam. Posisi Tamjidillah juga hanya dimanfaatkan Belanda. Ketika ia dianggap sebagai penyebab kericuhan di Banjarmasin, Belanda mencopotnya dan mengambil alih kekuasaan.

Kemarahan rakyat telah memuncak, Pangeran Hidayat pun kini mendekat kepada rakyat. Pangeran Hidayat, dibantu oleh Pangeran Antasari dan banyak bangsawan lainnya mulai melakukan penyerangan terhadap pos-pos bahkan benteng Belanda. Perlawanan meluas ke berbagai daerah ketika Belanda menghapus kerajaan dan memasukkannya ke dalam kekuasaan Pemerintah Kolonial. Kepala Daerah dan ulama banyak yang memilih berjuang bersama rakyat dan menanggalkan kesetiaan kepada Belanda. Perlawanan terjadi secara sporadic dan berpindah-pindah, sehingga menyulitkan Belanda. Pangeran Antasari memang memegang kuasa tinggi dalam perlawanan, namun usaha memberontak di banyak wilayah lain juga terjadi.

Perlawanan rakyat Kalimantan Selatan berjalan dalam dua fase. Fase ofensif (1859-1863), di mana rakyat banyak melakukan serangan kepada Belanda. Kemudian fase defensif (1863-1905), di mana perlawanan terus muncul dan mengganggu Belanda. Perlawanan defensif ini terjadi setelah Pangeran Antasari wafat pada 1 Oktober 1862. Kedudukan Belanda terus menguat di Banjarmasin karena telah lepas dari pengaruh kerajaan, sehingga pemberontakan dapat dipadamkan sepenuhnya pada tahun 1905.

Perlawanan Rakyat Kalimantan terhadap Pendudukan Jepang

Pulau Kalimantan adalah titik pertama pendaratan Jepang di Nusantara. Mengingat pertahanan Belanda yang kurang kuat, dan sumber utama minyak bumi dan batu bara. Jepang mendarat di Tanjung Kodok, pada 22 Januari 1942 dan secara cepat menguasai banyak wilayah. Hal ini tentunya memicu perlawanan rakyat yang menolak diperlakukan sewenang-wenang oleh Jepang.

Perlawanan yang terkenal terhadap Jepang adalah Perang Dayak Desa, yang dipimpin oleh Pang Suma di daerah Kalimantan Barat. Hal ini diakibatkan oleh kekacauan pada perusahaan kayu Jepang. Kekacauan ini berujung pada peperangan yang berlangsung ke desa-desa pedalaman sejak April-Agustus 1944, dan terus berlanjut sampai tahun 1945. Perlawanan ini bertujuan untuk mengakhiri kesewenang-wenangan perusahaan Jepang yang mempekerjakan orang Dayak secara tidak manusiawi.

Peristiwa penting lain di Kalimantan adalah Peristiwa Mandor, terjadi pada 23 April 1943. Jepang melakukan semacam show of force dengan menyisir seluruh kalangan bangsawan, pemuka adat, sultan, dan orang-orang penting lainnya  Mereka ditangkap, hanya beberapa yang dilepas kembali, sebagian lainnya dipenjara dan dibunuh. Perlawanan rakyat di desa-desa ini terus berlangsung karena berita kemerdekaan Indonesia belum tiba, dan Jepang masih berusaha mempertahankan kekuasaanya di Kalimantan. Perlawanan berdarah semacam ini terus terjadi sampai Jepang hengkang dari Indonesia sesuai hasil Perjanjian San Fransisco pada tahun 1945.

Artikel: Perlawanan Rakyat Sulawesi
Kontributor: Noval Aditya, S.Hum.
Alumni Sejarah FIB UI

Lihat juga materi Sejarah lainnya di StudioBelajar.com: