Republik Maluku Selatan

Republik Maluku Selatan (RMS) adalah sebuah gerakan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 25 April 1950. Klaim yang diambil oleh RMS meliputi wilayah Seram, Buru, dan Ambon, pulau-pulau terbesar di Maluku bagian selatan. Gerakan ini ditumpas secara militer dan dibubarkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1963.

Namun dr. Chris Soumokil membentuk pemerintahan pengasingan di Belanda pada tahun 1966, dan masih berlangsung sampai sekarang. Sejak 2010, RMS dipimpin oleh John Wattilete. Gerakan RMS adalah aksi kontra-revolusioner pribumi pertama yang dilancarkan setelah Indonesia menerima bentuk federal baru melalui Konferensi Meja Bundar.

Lihat juga materi StudioBelajar.com lainnya:
Konferensi Asia Afrika
Gerakan DI/TII

Latar Belakang Gerakan RMS

Wilayah Maluku merupakan salah satu daerah yang memiliki kontak panjang dengan bangsa Eropa. Baik yang melawan penjajahan, maupun bekerjasama dalam hal perdagangan atau sebagai vasal. Klaim Indonesia atas Maluku Selatan, dan perjuangan dalam Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) tidak begitu terasa sampai wilayah ini.

Berbeda ketika pengakuan kedaulatan terjadi, Maluku Selatan sepenuhnya ada dalam bagian negara federal Indonesia (RIS). Sementara sebagian orang, terutama anggota KNIL masih setia kepada mahkota Kerajaan Belanda. Alasan lain adalah KNIL yang merupakan tentara kolonial menolak dibubarkan dan dimobilisasi oleh Indonesia. Sehingga ketidakpuasan ini berujung pada proklamasi Republik Maluku Selatan pada April 1950

Tujuan Gerakan RMS

Tujuan utama dari Gerakan Republik Maluku Selatan adalah membentuk sebuah negara baru yang merdeka. Hal ini dikarenakan perbedaan keinginan antara politisi dan anggota KNIL yang tidak berkenan bergabung menjadi bagian dari Indonesia. Sehingga memerdekakan diri menjadi pilihan yang diambil oleh pihak-pihak tersebut.

Hal ini juga didasarkan atas tidak kuatnya klaim Indonesia atas Maluku, yang sebelumnya merupakan wilayah-wilayah independent di bawah penjajahan Belanda. Tidak ada alasan kuat untuk menerima penggabungan dalam Republik Indonesia Serikat.

Tokoh-Tokoh yang Terlibat

Chris Soumokil J.D.

Soumokil adalah Presiden pertama Republik Maluku Selatan yang dilantik pada tahu 1954. Ia menjabat sembari memimpin perang gerilya di Seram, sampai dengan penangkapannya pada tahun 1962. Ia dieksekusi pada tahun 1966, namun berhasil meneruskan estafet kepemimpinan kepada John Manusama yang membentuk pemerintahan pengasingan di Belanda.

Leimena, A.E. Kawilarang, dan Slamet Riyadi

Tokoh yang berperan dalam penumpasan RMS dari Indonesia adalah Dr. J. Leimena, Kolonel Alexander Evert Kawilarang, dan Letkol Slamet Riyadi. Dr. J. Leimena diutus oleh presiden untuk meyakinkan Soumokil menyerahkan diri dan membubarkan RMS namun gagal. Sehingga Kolonel Kawilarang diutus untuk menduduki Ambon. Dalam waktu singkat, Kawilarang dan Slamet Riyadi berhasil menduduki Ambon, namun Slamet Riyadi tewas ketika merebut Benteng Nieuw Victoria,

Respon Pemerintah dan Operasi Militer

Pemerintah Republik Indonesia Serikat tentu memandang gerakan ini sebagai separatis, menolak klaim kemerdekaan RMS. Indonesia dengan segera mengirimkan ekspedisi militer untuk merebut Ambon yang diduduki sebagai pusat gerakan RMS. Ambon diduduki oleh sekitar 1000 tentara KNIL, menghadapi blokade laut dari Indonesia.

Pasukan Indonesia mendarat pada September 1950, namun baru dapat sepenuhnya merebut kota pada bulan November. Pasukan RMS melancarkan gerilya sembari mundur ke Seram. Pertempuran kecil ini terus berlangsung selama dua belas tahun, sampai dengan tertangkapnya Dr. Chris Soumokil, presiden RMS oleh ABRI pada 2 Desember 1962.

Gerakan ini dianggap berakhir oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1963, namun RMS membentuk pemerintah pengasingan di Belanda pada tahun 1966 dibawah pimpinan Johan Manusama.

Akhir Gerakan dan Kebijakan Pemerintah

Gerakan RMS di Maluku memang berakhir dengan tertangkapnya Dr. Chris Soumokil, namun tidak dengan pemerintahannya. Johan Manusama masih memimpin sebagai presiden RMS di Belanda, setelah sekitar 12.500 orang dilarikan ke Belanda pada 1950-1951 akibat jatuhnya Ambon.

Orang-orang ini ditempatkan di kamp sementara, dan membentuk pemerintahan pengasingan Republik Maluku Selatan. RMS sendiri memiliki lembaran proklamasi kemerdekaan, lagu kebangsaan, dan bendera resmi. Presidennya saat ini adalah John Wattilete, menjabat sejak tahun 2010.

Adapun pemerintah Indonesia menganggap Republik Maluku Selatan non-eksisten, dan terus meminimalisir adanya potensi kemunculan gerakan serupa. RMS ini juga turut memberikan beban terhadap Kerajaan Belanda akibat orang Maluku yang dibawa kesana tidak memiliki kewarganegaraan sampai dengan tahun 1968.

Memunculkan banyak aksi terror akibat hanya diperlakukan sebagai “penduduk sementara”, padahal setia kepada Belanda sebagai KNIL. RMS adalah gerakan kemerdekaan yang mampu terus bertahan lama, seperti halnya GAM dan OPM. Meski GAM akhirnya memilih berdamai dengan Indonesia pasca Tsunami 2004.

Perkembangan Politik RMS

Presiden terakhir dari Republik Maluku Selatan, John Wattilete bersikap lebih moderat terhadap Indonesia sejak dilantik pada tahun 2010. Ia menyatakan bahwa kemerdekaan bukan lagi prioritas dari RMS, selama masyarakat Maluku bisa memimpin wilayahnya sendiri. Ia terus memperhatikan sistem otonomi daerah dan otonomi khusus di Aceh.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada tahun itu akan berkunjung ke Belanda, dicegat oleh tuntutan dari Wattilete. Otoritas Belanda didesak untuk menahan Presiden SBY atas pelanggaran HAM di Maluku, dan menuntut untuk berdialog dengan RMS. Presiden akhirnya membatalkan kunjungannya ke Belanda atas alasan keamanan. Mencederai hubungan diplomatik yang membaik sejak pengakuan kemerdekaan de facto Indonesia dari Belanda pada Agustus 2005.

Adapun di Indonesia, simpatisan RMS beberapa kali menunjukkan identitas ke publik ketika presiden hadir di Maluku. Meskipun Deklarasi Malino II ditandatangani untuk perdamaian dan anti separatisme, hal ini beberapa kali terjadi. Pemerintah Indonesia yang menganggap Gerakan RMS non-eksisten, tidak terlihat cukup memprioritaskan penuntasan gerakan ini. Sementara pergerakan yang lebih berbahaya sering terjadi di Papua.

Materi: Pemberontakan Republik Maluku Selatan
Kontributor: Noval Aditya, S.Hum.
Alumni Sejarah FIB UI

Materi StudioBelajar.com lainnya: