Gerakan Non Blok

Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non-Alignment Movement (NAM) adalah sebuah organisasi internasional yang terdiri atas 120 negara anggota dan 17 negara peninjau. Organisasi ini dibentuk oleh negara-negara yang tidak beraliansi dengan blok atau kekuasaan besar tertentu. Gerakan ini dipergunakan untuk menengahi kedua kekuatan besar yang sedang bersitegang saat itu, Uni Soviet dan Amerika Serikat. Sehingga banyak negara memilih bersikap netral untuk menghindari konflik. Meskipun pada akhirnya, beberapa negara tetap dapat dijadikan aliansi oleh salah satu dari kedua negara adidaya. Namun Gerakan Non-Blok memiliki andil besar dalam mencegah terjadinya konflik global.

Lihat juga materi StudioBelajar.com lainnya:
Kerajaan Mataram Kuno
Manusia Purba di Indonesia
logo gerakan non blok

Sumber gambar: wikimedia.org

Latar Belakang Gerakan Non-Blok

Dunia pasca perang dunia kedua terbagi pengaruhnya menjadi dua kekuatan besar. Amerika Serikat yang membawa ide liberalisme dan sistem kapital, melawan Uni Soviet yang menggunakan sistem otoritarian dan ekonomi komunis. Kedua negara ini berupaya memperbesar pengaruhnya ke negara-negara korban perang dan negara baru. Hal ini tentunya memunculkan kekhawatiran akan adanya kemunculan konflik global kembali. Untuk mencegah hal itu terjadi, beberapa negara mengusulkan adanya sebuah forum internasional yang mengikat antar negara-negara yang netral. Sehingga diharapkan dapat menjadi kekuatan ketiga untuk meredakan konflik yang ada.

Di sisi lain, Gerakan Non-Blok juga dilatarbelakangi oleh ketidakinginan negara-negara baru ini merasakan kembali penjajahan seperti halnya sebelum perang. Mereka menginginkan independensi serta kebebasan dalam menjalankan pemerintahan sendiri. Perang Dingin mendekatkan mereka kembali dengan pengaruh kuat dari negara adikuasa.

Pembentukan GNB

Gerakan Non-Blok awalnya pertama kali digunakan oleh Jawaharlal Nehru pada Konferensi Kolombo 1954 sebagai prinsip untuk menjaga perdamaian antar negara. Gerakan ini baru dimulai satu tahun kemudian pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Di mana pada forum ini muncul lima orang tokoh yang menyatakan keinginannya untuk menjauhkan diri dari blok tertentu. Tokoh-tokoh tersebut adalah Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Jawaharlal Nehru (India), Kwame Nkrumah (Ghana), dan Soekarno. Gerakan ini diharapkan dapat menjadi solusi dari negara-negara baru untuk meredakan konflik yang ada.

Gerakan Non-Blok melangsungkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) kurang lebih tiga tahun sekali, untuk membahas agenda-agenda dan isu-isu yang perlu ditindaklanjuti. Sampai dengan hari ini telah dilaksanakan 17 kali KTT. KTT pertama dilangsungkan di Beograd, Yugoslavia pada September 1961. Setiap KTT dilangsungkan, beberapa pernyataan dan kebijakan dikeluarkan untuk menekan potensi konflik dalam Perang Dingin. Meski begitu, Gerakan Non-Blok dianggap telah kehilangan relevansinya setelah Perang Dingin berakhir.

Tujuan Gerakan Non-Blok

Tujuan dari Gerakan Non-Blok tercantum dalam Deklarasi Havana tahun 1979. Menyatakan bahwa gerakan ini bertujuan untuk menjamin kedaulatan, kemerdekaan, integritas teritorial, dan keamanan negara-negara nonblok dalam perjuangan mereka menentang imperialisme, kolonialisme, rasisme, serta segala bentuk agresi militer dan penjajahan. Gerakan Non-Blok juga menolak berbagai bentuk blok politik. Secara umum, anggota-anggota Gerakan non-Blok sangat berharap melalui organisasi ini seluruh konflik yang ada dapat mereda. Dikarenakan negara-negara baru atau korban perang sangat membutuhkan bantuan, akan tetapi bantuan bersifat politis dari salah satu blok akan memicu konflik dengan blok lainnya.

Tokoh Gerakan Non-Blok

1. Gamal Abdel Nasser

Gamal Abdel Nasser adalah presiden kedua Mesir yang sepanjang hidupnya melalui jalan panjang di bawah imperialisme dan kolonialisme. Ia memimpin kudeta atas Raja Farouk I, dan ketika memegang tampuk kepala negara menasionalisasi Terusan Suez. Hal ini membuatnya berhadapan dengan Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat. Namun ia teguh pada pendiriannya mengenai kedaulatan Mesir di Suez. Gamal Abdul Nasser menjadi salah satu pionir Gerakan Non-Blok dan merupakan salah satu pimpinan negara baru yang vokal di forum internasional. Ia mengharapkan Mesir dan seluruh negara baru bebas dari intervensi asing, terlebih dari blok yang sedang berkonflik.

2. Jawaharlal Nehru

Jawaharlal Nehru adalah perdana menteri India pertama, dan dianggap sebagai penerus Mahatma Gandhi dalam memimpin India pasca kemerdekaan. Ia merupakan pemimpin sayap kiri yang radikal, dan tentunya sangat membenci penindasan dan pengaruh asing. Nehru menyadari posisi penting India bagi dunia dan menjadi salah satu tokoh yang signifikan pengaruhnya dalam Gerakan Non-Blok maupun forum internasional lainnya.

3. Josip Broz Tito

Josip Broz Tito merupakan presiden pertama Yugoslavia, yang pada awalnya merupakan pendukung kuat rezim komunis Soviet. Namun sejak Joseph Stalin berkuasa pada tahun 1948, ia menolak hegemoni soviet dan memimpin negara dengan sosialismenya sendiri. Ia dicap otoriter, namun berusaha mempertahankan keutuhan Yugoslavia di tengah terpaan dalam negeri akibat konflik antar daerah. Ketidaksukaannya terhadap hegemoni Soviet maupun dominasi Amerika membuatnya menjadi sedikit negara Eropa yang bergabung dengan gerakan ini. Sehingga posisisinya sangat dihormati.

4. Soekarno

Soekarno adalah presiden pertama Indonesia, yang memiliki cita-cita tinggi menyukseskan revolusi Indonesia bebas dari imperialisme sekecil apapun. Ia berupaya menyalurkan idenya dalam berbagai forum internasional dan menjadi figur yang dihormati oleh negara-negara dunia ketiga. Prakarsanya dalam Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 melahirkan Dasasila Bandung yang menjadi prinsip dasar Gerakan Non-Blok.

Peran Indonesia dalam Gerakan Non-Blok

Indonesia sebagai salah satu pengusul Gerakan Non-Blok memiliki peran besar dalam organisasi ini. Diantaranya menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika di mana gerakan ini dideklarasikan oleh lima negara penganjur non-blok. Kegiatan ini menjadi kebijakan yang sangat diprioritaskan oleh pemerintah Indonesia mengingat tujuannya yang amat besar. Indonesia juga menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi ke-10 pada September 1992 di Jakarta. KTT ini merupakan yang pertama setelah Perang Dingin reda akibat dibubarkannya Uni Soviet. Pada KTT ini, Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soeharto menjabat sebagai sekertaris jendral Gerakan Non-Blok sampai dengan tahun 1995.

Dampak Keberadaan GNB

Keberadaan GNB secara umum memiliki dampak besar dalam menekan potensi konflik yang ada di antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Mengikat negara-negara kecil dalam satu forum, GNB mencegah terlalu banyak negara dapat dipengaruhi oleh kedua blok.Terhitung hanya Kuba yang secara diplomatic beraliansi dengan Soviet. Sementara negara-negara seperti Vietnam, Afghanistan, Korea, Kamboja, Indonesia, dan banyak negara lainnya pemerintahannya jatuh akibat konflik. Meski begitu GNB tetap eksis dan memaksa kedua kubu untuk bersepakat dalam banyak hal seperti pembatasan militer, pengurangan intervensi, dan pemusnahan nuklir. Seiring dengan berakhirnya perang dingin, relevansi dari Gerakan Non-Blok dianggap sudah tidak ada lagi. Sekertaris Jenderal terakhir dijabat oleh Nicolas Maduro dari Venezuela sejak 2016.

Artikel: Gerakan Non-Blok
Kontributor: Noval Aditya, S.Hum.
Alumni Sejarah FIB UI

Materi Sejarah lainnya di StudioBelajar.com: