Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri atau Pandjalu adalah salah satu kerajaan Hindu di Jawa, yang tumbuh sekitar abad ke-11 Masehi. Kerajaan ini berdiri setelah penguasa terakhir Kerajaan Mataram Kuno/Medang yaitu Dharmawangsa Airlangga membagi kekuasaannya untuk kedua anaknya. Kerajaan Airlangga dibagi menjadi Janggala di sebelah timur-utara, dan Pandjalu atau Kediri di sebelah barat-selatan.
Tidak banyak sumber-sumber yang cukup gambling menjelaskan mengenai eksistensi keduanya, namun Kerajaan Pandjalu kerap kali diidentikkan dengan Kediri berkat beberapa penemuan arkeologis di wilayah kota Kediri, Jawa Timur. Kediri terlibat banyak sekali konflik dengan penguasa-penguasa sekitar sampai akhirnya ditaklukkan oleh Sri Ranggah Rajasa/Ken Angrok dari Tumapel.
Letak dan Pendiri Kerajaan
Kerajaan Kediri diduga berpusat di Daha, sebuah wilayah pemukiman yang diperkirakan ada di bagian selatan Jawa bagian Timur. Mendekati wilayah Kota Kediri, Jawa Timur saat ini. Kota Daha, bersama dengan Kahuripan menjadi wilayah penting di kemudian hari bagi Singhasari dan Majapahit. Sehingga dapat diperkirakan Daha merupakan pusat dari Kediri, selaku pendahulu Singhasari dan Majapahit.
Raja pertama dari Kerajaan Kediri adalah Sri Samarawijaya, yang merupakan putra Airlangga. Samarawijaya memperoleh kekuasaan Pandjalu dengan ibukota di Daha, sementara Mapanji Garasakan memimpin Janggala di Kahuripan. Belum diketahui apakah Sri Samarawijaya adalah pendiri dari Kediri, namun ia adalah putra mahkota dari Airlangga, sehingga berhak atas salah satu bagian dari kerajaan yang ditinggalkan Airlangga. Selain itu, Samarawijaya adalah nama raja yang paling awal ditemui dalam rangkaian penemuan arkeologis terkait kerajaan Kediri.
Raja-Raja Kediri
- Sri Samarawijaya
Samarawijaya adalah putra Airlangga yang telah dijadikan putra mahkota Kerajaan Mataram Kuno. Ia kemudian memperebutkan posisi raja melawan Mapanji Garasakan. Airlangga terpaksa membagi kerajaan menjadi Pandjalu dan Janggala untuk menghindari perang saudara. Meski begitu, beberapa bukti menyatakan bahwa keduanya tetap berperang sepeninggal Airlangga. Masa kekuasaannya disebut sebagai masa kegelapan, karena tidak meninggalkan bukti prasasti apapun mengenai kerajaan Kediri. Samarawijaya diperkirakan bertahta di Pandjalu pada 1042, nama raja selanjutnya yaitu Sri Jayawarsa baru muncul pada 1104. - Sri Jayawarsa
Nama Sri Jayawarsa muncul melalui Prasasti Sirah Keting, menyatakan bahwa ia adalah raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1104. Namun beberapa penelitian lanjutan oleh L.C. Damais menyatakan bahwa nama ini berada sezaman dengan kekuasaan Mapanji Kamesywara dan Krtajaya. - Sri Bameswara
Sri Bameswara memerintah sekitar tahun 1117-1130, namanya muncul dalam Prasasti Padlegan. Pada masa kekuasaannya, ia menetapkan wilayah Padlegan dan Panumbangan sebagai wilayah bebas pajak dalam prasasti batu. Hal ini menunjukkan bahwa di Kediri, masyarakat dapat mengajukan permohonan tertentu yang boleh jadi dikabulkan oleh raja. - Jayabhaya
Nama Jayabhaya muncul sebagai penguasa Kediri pada Prasasti Ngantang, berkuasa pada tahun 1135. Diperkirakan berkuasa sampai dengan tahun 1157, dan dianggap sebagai raja terbesar Kediri. Prasasti Ngantang juga menyatakan Pandjalu Jayati atau Pandjalu menang. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa masyarakat Ngantang yang setia dalam usahanya mengalahkan Janggala. Ia berhasil menyatukan kembali Janggala dan Pandjalu di bawah naungan Kediri. - Sri Sarwweswara
Sri Sarwweswara ditemukan dalam Prasasti Padlegan II (1159 M) dan Prasasti Kahyunan (1161 M). - Sri Aryeswara
Nama Sri Aryeswara ditemukan dalam Prasasti Angin (1171 M). Prasasti Angin juga menyantumkan lambing kerajaan Kediri pada masa kekuasaannya adalah Ganesha. - Sri Gandra
Nama Sri Gandra muncul dalam Prasasti Jaring (1181 M), yang berisi tentang permohonan anugerah raja dari masyarakat desa Jaring. - Mapanji Kamesywara
Mapanji Kamesywara pertama kali diungkap pada Prasasti Semanding tahun 1182 M. Dalam kakawin Smaradhana diungkapkan bahwa ikatan antara Pandjalu dan Janggala menguat ketika Sri Kamesywara memperistri Sri Kirana, seorang putri dari Janggala. Kisahnya diangkat dalam pementasan drama antara Panji Inu Kertapati dan Galuh Candrakirana. - Krtajaya
Krtajaya merupakan raja terakhir Kediri yang muncul melalui beberapa prasasti dan kitab Nagarakrtagama. Kitab ini menyatakan bahwa Krtajaya menghendaki disembah oleh petinggi keagamaan, namun ditolak. Para agamawan ini meminta perlindungan kepada Ken Angrok raja daerah di Tumapel, sekaligus menyetujuinya menjadi raja Singhasari. Ken Angrok memanfaatkan ini untuk melepaskan diri dari pengaruh Kediri dan menyerang Daha. Krtajaya gugur di Ganter pada tahun 1222 M, dan seluruh kekuasaan Kediri beralih kepada Singhasari dan Ken Angrok sebagai rajanya.
Kehidupan Masyarakat Kerajaan Kediri
Kehidupan Politik
Kerajaan Kediri berdiri kira-kira hanya satu abad, namun ada beberapa perubahan-perubahan dalam pemerintahan yang terjadi. Sebutan panglima Angkatan Laut (senapati sarwwajala) muncul dalam keterangan. Sekiranya peran di bidang kemaritiman menjadi lebih penting, terutama dalam menjaga jalur ke luar kerajaan melalui sungai Brantas. Selain itu, ditemui pula adanya aspek demokrasi yaitu permohonan yang langsung datang dari masyarakat melalui pejabat-pejabat setempat kepada Raja. Aspek penting lain di bidang politik adalah adanya samya haji atau raja daerah dalam struktur kekuasaan Kediri. Raja daerah ini dengan kekuasaannya masing-masing memiliki peran penting terhadap eksistensi pusat kerajaan Kediri. Pada akhirnya, kekuasaan-kekuasaan kecil ini yang melemahkan Kediri. Tumapel, wilayah yang cukup dekat dengan Daha memberikan perlawanan dan berhasil menumbangkan Sri Krtajaya.
Kehidupan Ekonomi
Tidak banyak penjelasan yang dapat ditemukan terkait dengan penduduk Kerajaan Kediri berikut dengan kegiatan perekonomiannya. Namun jika merujuk pada zaman dan wilayahnya, Kerajaan Kediri tentunya memiliki pengelolaan di bidang pertanian yang dilangsungkan di wilayah pedalaman, dan perdagangan yang dilangsungkan melalui aliran sungai Brantas dan Kali Lamong menuju ke Pantai Utara Jawa. Umur kerajaan yang sangat singkat ini menjadi faktor utama tidak adanya informasi yang kredibel mengenai kondisi kerajaan.
Kehidupan Sosial
Kerajaan Kediri menurut peninggalannya menganut agama Hindu Siwa, merujuk pada Candi Gurah dan Tondowongso. Tidak ditemui adanya bukti-bukti tumbuhnya buddhisme terkait dengan kerajaan ini. Di sisi lain, nama abhiseka atau penjelmaan Wisnu juga dikenal pada raja-raja Kediri meskipun menganut agama Siwa. Hal ini dapat didasarkan pada posisi raja sebagai pelindung masyarakat. Meskipun tidak memberikan peninggalan sebanyak Mataram misalnya, candi-candi peninggalan Kediri mengawali ciri khas candi masa Singhasari.
Runtuhnya Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri menurut Nagarakrtagama runtuh pada tahun 1222 M, ketika Sri Ranggah Rajasa/Ken Angrok dari Tumapel menyerang Sri Krtajaya. Sementara menurut kitab Pararaton, serangan terhadap Kediri ini didasarkan atas permintaan para bhujangga penganut Siwa yang diminta raja Kediri untuk menyembahnya. Bhujangga ini kemudian melarikan diri, dan merestui Ken Angrok sebagai raja di Tumapel, mempergunakan nama kerajaan Singhasari, dan dengan nama penobatan Sri Ranggah Rajasa. Ia kemudian melepaskan diri dari pengaruh Kediri dan menyerbu Daha. Ken Angrok berhasil mengalahkan Krtajaya di Ganter. Kekalahan ini tidak hanya membawa Kediri, namun juga Janggala masuk ke dalam pengaruh Singhasari. Imperium baru tumbuh di sekitar sungai Brantas, Jawa Timur menggantikan Kediri.
Peninggalan Kerajaan Kediri
1. Candi (Gurah, Tondowongso, & Pertirtaan Kepung)
Kerajaan Kediri memang tidak memiliki peninggalan arkeologi sebanyak kerajaan lainnya. Hal ini dikarenakan pendeknya usia kerajaan, yang kemudian digantikan oleh imperium Singhasari yang banyak memberikan peninggalan. Candi-candi Kediri yaitu Candi Gurah, Candi Tondowongso, dan Pertirtaan Kepung. Candi Gurah memiliki arca Brahma, Surya, Candra, dan Nandi. Candi ini merupakan lokasi pemujaan Siwa. Sementara Candi Tondowongso memiliki 14 buah arca yang kurang lebih sama dengan Candi Gurah.
2. Kitab (Bharatayuddha, Hariwangsa, dll)
Masa Kediri dianggap sebagai zaman keemasan Jawa Kuno di bidang kesusastraan, beberapa kakawin diciptakan pada zaman ini. Kitab yang muncul di kemudian hari seperti Nagarakrtagama juga mencantumkan beberapa informasi mengenai kerajaan Kediri. Hal ini dikarenakan Kediri dianggap sebagai pendahulu imperium Singhasari dan Majapahit. Kitab-kitab sastra yang diciptakan pada masa ini antara lain :
- Bharatayuddha oleh Pu Sedah dan Pu Panuluh
- Hariwangsa oleh Pu Panuluh
- Ghatotkacasraya oleh Pu Panuluh
- Smaradhana oleh Pu Dharmaja
- Sumanasantaka oleh Pu Monaguna
- Krsnayana oleh Pu Triguna
3. Prasasti (Padlegan, Hantang, dll)
Kerajaan Kediri meninggalkan cukup banyak prasasti yang memunculkan nama-nama raja yang berkuasa. Namun hanya itu informasi yang didapatkan, tidak banyak pengetahuan mengenai masyarakat umum yang dimunculkan di dalamnya. Beberapa prasasti peninggalan Kediri adalah :
- Prasasti Padlegan I dan II ( Penjelasan Sri Bameswara dan Sri Sarwweswara)
- Prasasti Hantang (Penjelasan Mapanji Jayabhaya)
Prasasti Hantang (museumnasional.or.id)
- Prasasti Angin (Sri Aryeswara)
- Prasasti Jaring (Sri Gandra)
- Prasasti Semanding (Mapanji Kamesywara)
Kontributor: Noval Aditya, S.Hum.
Alumni Sejarah FIB UI