Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh adalah salah satu kerajaan Islam yang tumbuh di Sumatera. Keberadaannya dicatat dalam berita Portugis tentang kerajaan yang melepaskan diri dari pengaruh Majapahit dan Sriwijaya. Aceh tumbuh menjadi kerajaan Islam yang besar dan menguasai wilayah di sekitar ujung utara Simatera. Bahkan berlanjut menjalin Kerjasama dengan negara Islam seperti Turki, Mesir, dan Abysina. Kerajaan Aceh memang telah melampaui kejayaannya pada abad ke-17. Namun eksistensinya masih menjadi lawan bagi pemerintah colonial sampai dengan akhir abad ke-19.
Letak dan Pendiri Kerajaan
Kerajaan Aceh berpusat di wilayah Banda Aceh sekarang. Menjadikannya titik penyebaran pengaruh, sekaligus bandar dalam berhubungan dengan negara-negara Islam di luar sana. Pendiri kerajaannya adalah Sultan Ali Mughayat Syah, yang dikenal Portugis dengan Sultan Brahim. Kepemimpinannya yang cemerlang membuat Aceh mampu bangkit dalam waktu singkat dan mendominasi kawasan tersebut.
Raja-Raja Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh merupakan lanjutan dari Dinasti Kerajaan Samudra Pasai, dan bertahan selama kurang lebih tiga ratus tahun. Aceh memiliki banyak sekali raja-raja yang berasal dari berbagai keturunan. Berikut adalah Sultan-Sultan Aceh yang banyak disebut dalam literatur sejarah:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1520-1530)
Sultan Ali Mughayat Syah adalah pendiri dari Kerajaan Aceh. Ia melepaskan diri dari kekuasaan Pedir dan mendirikan kesultanan sendiri. Dalam waktu singkat ia mengambil alih pengaruh dari Pedir, Daya, dan Pasai (1524). Pada tahun 1529, ia mempersiapkan armada untuk menggempur Portugis di Malaka. Sayangnya pada tahun berikutnya ia wafat dan rencana tersebut dibatalkan.
2. Sultan Alauddin Ri’ayat Syah (1537-1571)
Sultan Alauddin adalah salah satu penguasa Aceh setelah Sultan Ali. Ia mengembangkan kembali angkatan perang Aceh dan menjalin hubungan dengan Timur Tengah. Ia mendapatkan bantuan teknisi-teknisi perang dari Turki, dan menggunakannya untuk menaklukkan Barus, Batak, dan Aru. Ia kemudian menempatkan saudara-saudaranya sebagai penguasa disitu untuk menghindari perang saudara. Ia juga menyerang Johor dan Malaka pada 1537, 1547, dan 1568 sebagai bukti berkuasanya Aceh di kawasan tersebut.
3. Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Munawar Syah (1588-1604)
Sultan ibn Munawar Syah merupakan Sultan Aceh dari garis keturunan Indrapura. Ia membuka luas perdagangan lada dengan bangsa Eropa di Aceh. Antara lain James Lancaster dari Inggris (1599 dan 1602) serta Cornelis de Houtman (1599). Periode ini mencairkan sesaat hubungan antara Aceh dan Malaka yang dikuasai Portugis.
4. Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
Sultan Iskandar Muda disebut-sebut sebagai raja terbesar dari Kerajaan Aceh. Ia menerapkan banyak kebijakan yang berdampak pada meluasnya pengaruh Aceh di kawasan tersebut. Ia mencetak uang emas dan menetapkan nilainya, sehingga perdagangan semakin mudah baik di dalam maupun luar negeri. Sultan juga menerapkan hubungan politik yang makin kuat dengan negara Islam di Timur Tengah. Pada saat yang sama menguatkan angkatan perang dan membumikan kebudayaan Islam kepada masyarakat. Ia mendukung kegiatan sufi yang dilakukan Hamzah Al-Fansuri, sehingga negara memiliki andil besar dalam tersebarnya kebudayaan Islam. Ia wafat pada tahun 1636 dan digantikan oleh Iskandar Thani, menandai menurunnya pamor Aceh sedikit demi sedikit.
5. Sultan Iskandar Thani (1636-1641)
Sultan Iskandar Thani merupakan putra dari Iskandar Muda yang menjabat sejak 1636. Secara umum, Iskandar Thani tidak mampu mempertahankan pengaruh besar Kerajaan Aceh di kawasan tersebut. Terlebih sejak menguatnya posisi Eropa yaitu VOC yang menguasai Malaka dan Inggris yang menduduki Siak dan sekitarnya. Ia mendukung kegiatan Sufi yang dibawa oleh Nuruddin ar-Raniri, menghasilkan kitab besar seperti Bustan-as-salatin. Sultan wafat tanpa meninggalkan keturunan dan dilanjutkan oleh istrinya, Taj Al-Alam Safiatuddin Syah.
Kehidupan Masyarakat Kerajaan Aceh
Kehidupan Politik
Secara politik, sultan-sultan Aceh merupakan pemimpin yang agresif dan bercita-cita besar dalam menguasai kawasan. Keinginan ini diterjemahkan dalam pembangunan angkatan perang yang besar, dibarengi dengan peperangan yang banyak terjadi di wilayah sekitar. Aceh secara terbuka menantang hegemoni Portugis di Malaka sebagai penguasa perdagangan kawasan. Aceh juga berupaya membangun hubungan politik dengan negara-negara Islam di Timur Tengah agar memperoleh dukungan dan bantuan dalam memperluas pengaruh.
Kehidupan Ekonomi
Selain politik, pengaruh Aceh juga terasa secara rill dalam bidang ekonomi. Pada masa kekuasaan Iskandar Muda, Aceh mulai menerbitkan kepingan uang secara luas dan menetapkan nilainya agar tidak berubah-ubah. Uang ini mempermudah perdagangan dalam dan luar negeri, bahkan nilainnya dapat bersaing dengan ringgit Portugis. Aceh memperdagangkan lada sebagai komoditas utamanya.
Kehidupan Sosial
Dalam bidang sosial, Kerajaan Aceh memberikan perhatian serius dalam bidang agama. Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Thani memberikan jalan mulus bagi kalangan sufi untuk memimpin dakwah di Aceh. Sehingga masyarakat luas dapat mengakses ajaran Islam yang penuh. Aceh juga dikenal menerapkan syariat Islam secara ketat dalam berbagai aspek kehidupan.
Masa Kejayaan Kerajaan Aceh
Masa kejayaan Kerajaan Aceh terjadi pada periode kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa ini beliau menerapkan penguatan dalam berbagai bidang. Ekonomi misalnya, menciptakan uang dinar dan dirham (emas) sebagai alat tukar yang sah sehingga memudahkan perdagangan. Aceh juga menjalin hubungan politik dengan negara Islam di luar, misalnya Turki. Disinyalir bahwa beberapa armada Aceh merupakan bantuan dari Turki, yang kemudian digunakan untuk menguasai kawasan sekitar Aceh-Malaya. Aceh secara luas memperdagangkan lada sebagai komoditas ekonomi utama. Aceh terang menjadi pesaing utama Malaka dan Portugis sebagai bandar dagang, karena pedagang muslim memilih untuk singgah di Banda Aceh.
Runtuhnya Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh mulai berjalan selepas Sultan Iskandar Muda wafat. Putranya, Iskandar Thani tidak dapat menjalankan kekuasaan yang amat besar. Sehingga pengaruh Aceh di kawasan tersebut lambat laun semakin melemah. Munculnya VOC sebagai penguasa Malaka sejak tahun 1641, juga menjadi sebab utama semakin terpuruknya Aceh. Pada periode pemerintah kolonial, Batavia kerap mengirim tentara untuk menaklukkan Aceh. Meskipun Aceh baru teraneksasi pada awal abad ke-20. Setelah runtuh, wilayah Aceh menjadi bagian dari Pax Nederlandica.
Peninggalan Kerajaan Aceh
Masjid Agung Baiturrahman
Masjid Agung Baiturrahman semula merupakan Masjid Raya yang dibangun pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Masih berupa masjid yang sederhana bagi pusat kesultanan. Masjid ini kemudian rusak ketika terjadi penyerbuan oleh Belanda, sehingga dibangun kembali pada 1879. Masjid ini menjadi ikon utama wilayah Aceh, dan menjadi symbol rekonsiliasi dan rekonstruksi pasca tsunami 2004.
Makam Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda adalah raja terbesar Aceh, dengan berbagai jasa dan pencapaiannya makamnya dikhususkan oleh kesultanan dan masyarakat sekitar. Makam ini terletak di sebelah kediaman Gubernur Aceh, yang mana baru ditemukan pada tahun 1952. Sebelumnya dihilangkan oleh Belanda pada masa pendudukan. Beberapa Sultan Aceh seperti Iskandar Thani juga memiliki komplek pemakaman khusus (Kandang).
Hikayat Prang Sabi
Hikayat Prang Sabi merupakan naskah sastra/hikayat yang menceritakan mengenai jihad yang perlu dilakukan oleh umat Islam. Ia terdiri dari bagian nasehat dan bagian epos. Bagian epos berisi kisah-kisah kepahlawanan yang terjadi di Aceh sepanjang masa.
Kontributor: Noval Aditya, S.Hum.
Alumni Sejarah FIB UI
Lihat juga materi Sejarah lainnya di StudioBelajar.com: