Perang Aceh
Perang Aceh melawan Belanda adalah pertempuran yang muncul di ujung utara Sumatera sejak tahun 1873 sampai penyerahan pihak Kesultanan Aceh kepada Belanda pada tahun 1904. Perang ini dimulai dengan pernyataan perang yang dikeluarkan oleh Belanda kepada Aceh pada 26 Maret 1873. Pertempuran ini dimaksudkan untuk menegaskan kekuasaan Belanda di Nusantara, mengingat pada akhir abad ke-19 Aceh dan Bali adalah wilayah yang sulit ditaklukkan oleh Belanda.
Kesultanan Aceh merespon dengan melancarkan perang gerilya terus menerus. Sementara Belanda menduduki wilayah-wilayah penting di Aceh, dan melancarkan infiltrasi melalui dr. Christiaan Snouck Hurgronje. Hasilnya, Aceh dapat ditaklukkan oleh Belanda, meskipun dengan korban puluhan ribu warga sipil yang dibantai oleh Belanda.
Kerajaan Mataram Islam
Asal-usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Kerajaan Sriwijaya
Latar Belakang Perang Aceh
Memasuki abad ke-19, Aceh masih berdiri sebagai negara independent yang kuat. Wilayah Sumatera, Semenanjung, dan Selat Malaka kini menjadi jalur perdagangan penting setelah Terusan Suez dibuka. Sehingga kepentingan Belanda atas Aceh dan penguasaan jalur perdagangan menjadi penting untuk segera diselesaikan. Setelah disahkannya Perjanjian London tahun 1824 yang menyerahkan Siak kepada Belanda, dimulailah pergerakan tersebut.
Pada tahun 1858, Traktat Siak disahkan, di mana Siak dan sekitarnya seperti Deli, Langkat, Asahan, dan Serdang juga jatuh ke tangan Belanda. Hal ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Aceh yang menguasai wilayah tersebut sejak masa Iskandar Muda.
Penyebab Terjadinya Perang
Setelah Traktat Siak disahkan pada 1858, Aceh menenggelamkan kapal-kapal Belanda yang lewat di perairan Pidie, Aceh. Hubungan antara Aceh dan Belanda terus memanas, ketika pada tahun 1871 Aceh membuka hubungan dengan AS, Italia, dan Turki sehingga mendapatkan dukungan dari dunia internasional sebagai negara independen.
Kepentingan Belanda untuk menguasai Aceh akan terhambat jika hubungan internasional terus dibiarkan berjalan. Sehingga Belanda yang tidak punya pilihan lain lagi memilih untuk menyerang terlebih dahulu pada 26 Maret 1873 di Pante Ceureumen, mendaratkan lebih dari 3.000 serdadu KNIL dipimpin oleh Mayjen J.H. Kohler.
Tokoh-Tokoh Perang Aceh
1. Panglima Polim
Panglima Polem IX memiliki nama asli Teuku Muhammad Daud, merupakan keturunan bangsawan yang juga berperan sebagai panglima perang Aceh. Ia diangkat sebagai panglima pada tahun 1891 dan bersama dengan Teuku Umar melangsungkan perang gerilya melawan Belanda dalam posisi peperangan yang terus terdesak. Pada tahun 1897, Panglima Polem, Teuku Umar, dan Sultan Muhammad Daud Syah berhasil berkumpul di Pidie dan merencanakan penyerangan terhadap Belanda. Namun sayang keluaganya telah diculik oleh Marsose sehingga mengakibatkan Polim menyerah pada tahun 1903.
2. Teuku Cik Di Tiro
Teuku Chik Di Tiro adalah pemimpin pertempuran Aceh yang berasal dari golongan agamawan. Ia besar di Tiro, Pidie dan mulai bergabung dengan perang pada tahun 1881. Bersamaan ketika banyak ulama mengobarkan jihad fi sabilillah melawan Belanda. Gerilyawan di bawah pimpinannya berhasil menguasai benteng-benteng Belanda dan membuat pasukan KNIL terkepung di pusat kota Banda Aceh. Teuku Chik di Tiro terus bertempur sampai tahun 1891 ketika Belanda berhasil membunuhnya di Benteng Aneuk Galong.
3. Teuku Umar
Teuku Umar merupakan panglima perlawanan rakyat Aceh yang mengawali karir peperangannya sejak Perang Aceh pertama meletus di Meulaboh tahun 1873. Umar melancarkan taktik penyerahan diri kepada Belanda, masuk ke dinas militer dengan tujuan untuk merebut logistik dan persenjataan. Selama dua tahun mengabdi kepada Belanda, ia berhasil mengumpulkan ratusan serdadu, puluhan panglima, dan banyak senjata yang digunakan untuk melawan Belanda kembali pada tahun 1884. Pada tahun 1893-1896, Umar mengulang kembali taktik tersebut dan berhasil. Belanda memprioritaskan pembunuhan Teuku Umar, dan melalui serangan kejutan pada 11 Februari 1899 di Meulaboh berhasil memastikan gugurnya Teuku Umar.
4. Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien adalah istri dari Teuku Umar yang dinikahinya pada tahun 1880. Ia setia menemani Umar dari medan ke medan, sekaligus banyak belajar karena ia pun dipandang tinggi oleh para gerilyawan. Selepas Teuku Umar gugur pada tahun 1899, beriringan dengan menyerahnya Sultan dan Panglima Polem. Cut Nyak Dhien mengambil inisiatif melanjutkan perang gerilya dengan berpindah-pindah. Usianya yang sudah tua menyebabkan panglima-panglimanya merasa iba dan menyerahkan diri kepada Belanda tanpa izin. Sehingga menyebabkan duka mendalam bagi Cut Nyak Dhien. Ia kemudian diasingkan ke Sumedang hingga wafat. Penangkapan ini merupakan Riwayat terakhir bagi perlawanan Aceh.
5. H. Kohler
Kohler merupakan serdadu Belanda yang mengawali karirnya di Hindia Belanda sebagai sersan, dan dalam waktu singkat naik pangkat menjadi Mayor Jenderal dan ditugaskan menjadi pemimpin penyerbuan Aceh pada tahun 1873. Ia merupakan Jenderal pertama yang terjun dalam Perang Aceh dan langsung tewas pada pertempuran yang sama. Menyebabkan Belanda perlu memutar siasat kembali untuk menaklukkan Aceh. Ia digantikan oleh Jenderal Van Swieten, dan tewasnya Kohler menjadi peringatan besar dalam perlawanan Aceh melawan pendudukan.
6. Van Heutz
Van Heutz merupakan Gubernur Sipil dan Militer Aceh tahun 1898-1904. Ia memiliki pencapaian terbesar dalam menaklukkan Aceh pada tahun-tahun tersebut. Ia mengirimkan Snouck Hurgronje untuk mempelajari kehidupan dan taktik pertempuran Aceh dan mengadopsinya dalam pertempuran selanjutnya. Pada tahun-tahun tersebut ia berhasil membuat Sultan dan Panglima Polem menyerah, menewaskan Teuku Umar, dan terus menekan pasukan Aceh yang dipimpin oleh Cut Nyak Dhien. Ia diangkat menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1904-1909 atas jasanya tersebut.
7. Snouck Hurgronje
Christiaan Snouck Hurgronje adalah bagian yang tidak pernah luput dari Perang Aceh. Figurnya adalah faktor utama kemenangan Belanda atas Aceh di luar pertempuran, studinya secara mendalam melalui penyamaran berhasil memunculkan kesimpulan brilian. Bahwa mengambil hati masyarakat Aceh akan melemahkan perlawanan. Ia diangkat menjadi penasehat Van Heutz selama kekuasaannya sebagai Gubernur Aceh.
Kronologi Perang Aceh
Perang Aceh periode pertama terjadi pada tahun 1873-1874, yang berlangsung berkat serangan dari KNIL di Banda Aceh. Belanda di bawah pimpinan Mayjen Kohler berhasil menguasai Masjid Agung Baiturrahman, meskipun kemudian dapat dipatahkan kembali oleh gerilyawan dibawah pimpinan Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah. Pada periode ini Belanda dengan lebih dari tiga ribu serdadunya kewalahan melawan gerilyawan Aceh yang berjumlah besar dan tidak takut mati.
Berlanjut ke Perang Aceh periode kedua (1874-1880), Belanda di bawah pimpinan Jenderal Van Swieten menguasai keraton pada 26 Januari 1874. Van Swieten kemudian memosisikannya sebagai wilayah pertahanan Belanda dan mengumumkan bahwa Aceh adalah bagian dari Pax Nederlandica. Tuanku Muhammad Dawood didapuk sebagai sultan pengganti Sultan Mahmud Syah yang wafat pada hari pendudukan. Pemerintahan terus berjalan secara berpindah-pindah.
Perang Aceh periode ketiga (1881-1896), panglima perang Aceh mengobarkan jihad fi sabilillah dan menempatkan gerilya sebagai taktik perang utama. Kesatuan gerilyawan Aceh berupaya memunculkan perlawanan di berbagai tempat dengan tokoh-tokoh seperti Teuku Cik Ditiro dan Teuku Umar sebagai pemimpin perlawanan. Mereka berupaya memastikan bahwa eksistensi Aceh tidak lenyap dengan melakukan perlawanan.
Perang Aceh periode keempat (1896-1910), adalah bagian penghabisan dari peperangan ini. Belanda dapat membalikkan keunggulan dengan dibentuknya Divisi Marsose di bawah pimpinan Hans Christoffel untuk melawan gerilyawan Aceh. Pasukan ini adalah hasil dari penelitian Snouck Hurgronje terkait dengan kehidupan masyarakat Aceh dan taktik pertempurannya. Divisi ini melakukan serangan kejutan, penculikan, penyisiran hutan dan pegunungan, serta pembantaian warga sipil yang dianggap berkomplot.
Pada tahun 1899, skuad ini melancarkan kejutan di Meulaboh dan berhasil menewaskan Teuku Umar. Panglima Polim dan Sultan Tuanku Ibrahim menyerah akibat penculikan anggota keluarga. Menyisakan Cut Nyak Dhien yang memimpin terus gerilyawan sampai dengan penangkapannya pada tahun 1910. Ia diasingkan ke Sumedang dan menandai akhir dari Perang Aceh sekaligus eksistensinya.
Akhir Peperangan
Penangkapan tokoh-tokoh pemimpin gerilya Aceh menandakan akhir dari seluruh perlawanan di Aceh. Van Heutz menerbitkan surat penyerahan diri dan pengakuan sebagai bagian dari Hindia Belanda. Surat ini harus disepakati oleh tokoh-tokoh tersebut, untuk mematuhi peraturan Hindia Belanda dan tidak melakukan perjanjian dengan pihak luar manapun. Pada tahun 1910, perlawanan Aceh dianggap berakhir meskipun perlawanan-perlawanan sepihak terus berlangsung bahkan sampai dengan pendudukan Jepang terjadi sekitar tahun 1942.
Artikel: Perang Aceh
Kontributor: Noval Aditya, S.Hum.
Alumni Sejarah FIB UI
Lihat juga materi Sejarah lainnya di StudioBelajar.com: