Konferensi Asia Afrika

Konferensi Asia Afrika (KAA) adalah sebuah pertemuan antarnegara yang diadakan di Bandung, 18-24 April 1955. Pertemuan ini digagas oleh negara-negara baru yang memperoleh kemerdekaannya setelah Perang Dunia II. Konferensi ini berawal dari pentingnya antarnegara untuk mencegah ekskalasi konflik dalam Perang Dingin berlangsung lebih serius.

Di sisi lain, negara-negara ini juga memperjuangkan dukungan terhadap penghapusan kolonialisme yang masih berlangsung. Konferensi Asia-Afrika menjadi salah satu bagian penting dari kerjasama negara dunia ketiga. Sekaligus menunjukkan peran penting Indonesia dalam kancah internasional, meskipun usia negara yang baru genap sepuluh tahun.

Lihat juga materi StudioBelajar.com lainnya:
Republik Indonesia Serikat
Gerakan DI/TII

Latar Belakang Peristiwa

Konferensi Asia-Afrika didahului oleh Persidangan Kolombo dan Persidangan Bogor yang dilaksanakan pada tahun 1954. Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh refleksi atas ketegangan dalam perang dingin yang terus meningkat. Sementara blok barat terlihat enggan untuk melibatkan negara-negara baru dalam diskursus ini, khususnya di kawasan Asia.

Selain itu, promosi dekolonialisasi yang terus digiatkan, utamanya di Afrika. Indonesia sendiri memiliki kepentingan untuk menggalang dukungan untuk merebut kembali Irian Barat. Wilayah yang gagal diselesaikan kesepakatannya pada pengakuan kedaulatan (Konferensi Meja Bundar) tahun 1949.

Tujuan Konferensi Asia Afrika

Tujuan dari pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika ini utamanya adalah membangun kekuatan tandingan untuk menengahi Perang Dingin yang kian serius, promosi dekolonialisasi baik oleh blok barat maupun timur, serta menyelesaikan sengketa antarnegara seperti permasalahan dwikewarganegaraan RI-RRT. Pertemuan ini berupaya menyepakati adanya pengakuan kesetaraan antarnegara serta mengutamakan kerjasama-kerjasama positif untuk menghindarkan konflik yang tidak diinginkan.

Perang Dunia II yang meluluhlantakkan dunia dianggap sebagai pembelajaran pahit bagi semua pihak. Sehingga tingginya tensi dalam Perang Dingin menjadi peringatan penting bagi negara-negara baru ini untuk mulai memberikan tekanan balik kepada dua blok adidaya.

Kronologi Penyelelanggaraan KAA

Konferensi Asia-Afrika diawali di Kolombo, ketika Indonesia Bersama Burma, India, dan Pakistan menyepakati perlunya pertemuan yang lebih besar untuk memfasilitasi tujuan yang lebih besar. Persidangan Bogor dilaksanakan pada Desember 1954, membahas teknis dari Konferensi Asia-Afrika serta menyepakati pelaksanaannya di Bandung, Indonesia.

Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengetuai konferensi ini dan membuka persidangan pada 18 April 1955. Beberapa pembahasan penting yang terjadi dalam peristiwa ini adalah pelurusan bias atas kolonialisme yang biasa disematkan pada negara barat. Beberapa negara mengusulkan kritikan atas kolonialisme juga disampaikan kepada Uni Soviet, yang turut menjajah negara-negara di sekitarnya tanpa konsensus.

Selain itu, Perdana Menteri Tiongkok, Zhou Enlai juga menghadiri kegiatan ini untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul akibat besarnya populasi keturunan Cina yang tidak berkontribusi bagi negara asalnya. Zhou Enlai dan Sunario menandatangani perjanjian dwikewarganegaraan untuk menyelesaikan masalah ini.

Pihak-pihak yang Terlibat

Pelopor dari Konferensi Asia-Afrika yang sebelumnya berkumpul di Kolombo terdiri dari lima perwakilan negara. Secara umum Persidangan Kolombo menitikberatkan pada pentingnya peningkatan kerjasama antar negara di Asia, Afrika, dan Pasifik. Terlebih di tengah himpitan kedua blok adidaya yang siap mencaplok sewaktu-waktu. Potensi konflik dan perebutan kekuasaan akan selalu ada, terlebih isu dekolonialisasi yang belum usai di beberapa wilayah.

Para pelopor tersebut antara lain:

  • Ali Sastroamidjojo dari Indonesia,
  • Mohammad Ali Bogra dari Pakistan,
  • U Nu dari Burma,
  • Jawaharlal Nehru dari India,
  • Sir John Kotelawala dari Ceylon

Konferensi Asia-Afrika di Bandung dihadiri oleh banyak negara, hampir seluruhnya merupakan negara baru selain Republik Rakyat Tiongkok, Thailand, dan Jepang. Sehingga landasan persamaan nasib dan kepentingan menjadi dapat dimengerti dalam berhasilnya Konferensi Asia-Afrika.

Negara-negara tersebut antara lain:

negara peserta konferensi asia afrika

Hasil Konferensi Asia Afrika

Hasil yang diperoleh dari pertemuan selama sepekan ini disebut dengan Dasasila Bandung atau sepuluh keputusan Bandung. Berisi kurang lebih sikap-sikap yang harus diterapkan oleh berbagai negara, dengan tujuan meningkatkan kerjasama dan meminimalkan konflik. Isi dari Dasasila Bandung antara lain:

  1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PBB,
  2. Menghormati kedaulatan dan integritas territorial semua bangsa,
  3. Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar atau kecil,
  4. Tidak melakukan campur tangan atau intervensi terhadap persoalan dalam negeri negara lain,
  5. Menghormati hak-hak negara untuk mempertahankan diri secara mandiri atau kolektif sesuai dengan Piagam PBB,
  6. Tidak menggunakan peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu blok negara besar, dan tidak melakukannya terhadap negara lain.
  7. Tidak melakukan Tindakan agresif terhadap kedaulatan atau kemerdekaan politik sebuah negara.
  8. Menyelesaikan segala sengketa internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi, dan lain sebagainya menurut negara yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.
  9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.
  10. Menghormati hukum dan kewajiban internasional.

Dampak dan Tindak Lanjut Konferensi

Konferensi Asia-Afrika menjadi titik balik dari pertemuan selanjutnya yaitu Konferensi Solidaritas Rakyat Afro-Asia di Kairo (1957), dan Konferensi Beograd (1961). Pertemuan tingkat tinggi antar negara ini kemudian menjadi bibit dari terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1979.

Meski begitu, solidaritas negara-negara ini tetap terguncang pada waktunya masing-masing akibat konflik yang tak terhindarkan. Seperti Perang Vietnam, Perang Teluk, serta perebutan kekuasaan dalam negeri salah satunya di Indonesia.

Peringatan Konferensi Asia-Afrika sendiri dilaksanakan pada tahun 2005 dan 2016 sebagai pertemuan kedua dan ketiga di bawah nama KAA. Pertemuan tahun 2005 melahirkan NAASP (New Asian-African Strategic Partnership), sementara pertemuan tahun 2016 melahirkan Pesan Bandung, Deklarasi Penguatan NAASP, dan Deklarasi Kemerdekaan Palestina. Gedung Merdeka di Bandung diresmikan menjadi Museum Konferensi Asia Afrika sebagai bentuk peringatan atas peristiwa penting dan peranan besar Indonesia dalam kancah global.

Kontributor: Noval Aditya, S.Hum.
Alumni Sejarah FIB UI