Perlawanan Rakyat Sulawesi

Sulawesi merupakan salah satu pulau besar di Nusantara yang menyimpan potensi besar bagi perdagangan. Tanahnya cukup subur sebagaimana Sumatra dan Jawa, di pesisir banyak berdiri pelabuhan dagang. Sulawesi, terutama di bagian selatan sejak dulu merupakan pintu gerbang menuju rempah-rempah di timur. Siapapun yang berkuasa di sana akan memperoleh kekayaan yang besar berkat itu.

Hal ini tentunya tidak disia-siakan oleh Belanda yang posisinya terus menguat sejak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengambil alih VOC pada tahun 1799. Tercatat, perlawanan besar terhadap Belanda terjadi di Sulawesi bagian utara dan selatan.

Lihat juga materi StudioBelajar.com lainnya:
Perang Aceh
Kerajaan Mataram Islam
Manusia Purba

Perlawanan Rakyat di Sulawesi Utara

Minahasa adalah salah satu wilayah di Sulawesi Utara, di mana pada wilayah ini terdapat kekuasaan-kekuasaan kecil yang independen. Walak adalah sebutan untuk pemimpin lokal yang bertugas untuk menjalankan kehidupan rakyat sedemikian rupa sebagai pemerintah yang ditunjuk. Perlawanan terhadap Belanda di Minahasa terjadi dua kali, berjarak hampir dua ratus tahun diantaranya.

Perang Minahasa atau Minawanua pertama terjadi pada tahun 1661-1664, dilancarkan untuk mengusir pengaruh Belanda/VOC yang datang menggantikan Spanyol dengan sewenang-wenang. Pertempuran pertama ini berujung kekalahan rakyat, dan dipaksa untuk membangun Fort Amsterdam sebagai pusat kekuasaan Belanda. VOC juga berhasil menjalin perjanjian pada tahun 1679 dengan masyarakat Minahasa, yang berisi tentang hubungan antara kedua pihak.

Pemahaman atas perjanjian ini kemudian pecah setelah pemerintah kolonial mengambil alih. Masyarakat Minahasa menganggapnya sebagai hubungan persahabatan, sementara Belanda menganggapnya sebagai bentuk bawahan. Melalui pemahaman ini, Belanda merasa berhak mencampuri urusan walak-walak Minahasa.

Belanda dapat bertindak dengan sewenang-wenang seperti memutuskan hukuman tanpa dasar, menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu terhadap rakyat, serta menetapkan keputusan-keputusan tertentu tanpa persetujuan. Mereka juga turut andil dalam persaingan antar walak yang tidak jarang berujung bentrokan. Namun pemahaman mengenai bawahan ini juga tak disukai, sehingga masyarakat Minahasa dipimpin walak mereka mengobarkan perang terhadap Belanda pada tahun 1808-1809.

Hubungan antara Belanda dan pimpinan rakyat Minahasa mulai memburuk sejak pemerintah kolonial berkuasa. Hal ini dikarenakan penafsiran bahwa Minahasa adalah wilayah kekuasaan Belanda, dalam hal ini bagian dari negara. Residen Carel Christoph Prediger Jr. yang menjabat sejak 1802 gagal membangun hubungan yang harmonis dengan walak dan ukung di Minahasa. Misalnya dalam pengerahan pemuda-pemuda Minahasa sebagai pembantu pertahanan melawan Inggris sesuai titah Gubernur Jenderal Daendels.

Pada dasarnya, ia tidak membuat keputusan yang berbeda dengan residen sebelumnya. Jadi perubahan ini dapat dipahami sebagai titik kulminasi perbedaan penafsiran posisi antara Minahasa dan Belanda dalam perspektif masing-masing pihak. Pertengahan tahun 1808, ketegangan memuncak menjadi pernyataan bahwa Minahasa menolak semua pengaruh Belanda yang ada di sana. Para walak dan ukung bersiap untuk pertempuran, sementara Prediger berusaha untuk menyelesaikan masalah melalui persuasi namun gagal.

Kontak senjata antara kedua pihak terjadi di Tonsea Lama, di mana Belanda menyerang tiba-tiba dan menewaskan walak Korompis serta menguasai wilayah Koya dan Tataaran. Namun setelah itu Belanda dipukul mundur ketika mendekati Danau Tondano, karena masyarakat Minahasa secara mengejutkan memiliki meriam kaliber 6 pon. Prediger mengundang beberapa walak untuk berunding, namun semuanya berujung pada penangkapan di Fort Amsterdam sehingga perlawanan terus berlanjut.

Ketika Belanda mampu memukul mundur pasukan Minahasa, sejenak kemudian dikejutkan oleh serangan mendadak. Belanda kehilangan lebih dari seratus serdadu. Kondisi ini terus berlangsung, sampai Martinus Balfour dan Kapten Weintre datang pada 8 Juni 1809 menggantikan Prediger.

Keduanya menerapkan sistem isolasi terhadap masing-masing walak dan terus-menerus meneror untuk menyerah kepada Belanda. Amnesti juga dijanjikan terhadap pemberontak yang mau berdamai dengan Belanda. Taktik ini menunjukkan keberhasilan, namun Belanda tidak pernah benar-benar menaklukkan Minahasa karena pada tahun 1810 diambil alih oleh Inggris. Inggris memanggil beberapa walak dari persembunyian dan menempatkan mereka pada posisinya kembali.

Perlawanan Rakyat di Sulawesi Selatan

Belanda pertama kali mendirikan kantor dagang di Makassar pada tahun 1607. Langkah pertama untuk mengontrol perdagangan utama yang dikontrol oleh penguasa-penguasa lokal. Upaya ini tercium oleh Kerajaan Gowa, yaitu Sultan Hasanudin yang beranggapan bahwa monopoli perdagangan di Makassar tidak dapat dibenarkan. Belanda yang terhambat oleh Hasanudin mendapatkan bantuan dari Arung Palaka. Tokoh dari Bone yang sejak lama hendak membebaskan diri dari kekuasaan Gowa, namun selalu berujung kegagalan. Arung Palaka menyadari kesamaan motif untuk menghancurkan Gowa, menyingkir ke Batavia untuk membentuk rencana peperangan melawan Gowa. Perang Makassar pecah pada tahun 1666-1667, menyebabkan kekalahan di pihak Gowa yang berarti menguatkan pengaruh Belanda di Makassar.

VOC menjadi pihak yang memonopoli perdagangan di Makassar, meski beberapa kerajaan mulai berupaya melepaskan diri dari pengaruhnya. Kerajaan Wajo misalnya mulai bersitegang dengan Belanda sejak 1710-1754, namun tidak berhasil akibat minimnya dukungan terhadap usaha tersebut. Kerajaan Bone, yang semula mendukung VOC mengalahkan Gowa, mulai Menyusun usaha melawan Belanda sejak wafatnya Arung Palaka. Perubahan kekuasaan kepada Inggris, dan kemudian kepada Belanda lagi tidak mengubah kondisi ini sehingga beberapa wilayah menyatakan diri sebagai wilayah merdeka. Kerajaan-kerajaan seperti Bone, Tanete, Suppa juga menolak undangan apapun dari Belanda untuk berunding.

Pasukan Belanda dipimpin oleh de Stuers bersiap untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan tersebut dengan kekerasan. Korban pertama adalah Kerajaan Tanete, diserbu pada tanggal 16 Juli 1824 dan dapat ditaklukkan dalam waktu singkat. Belanda mampu menekan raja barunya untuk berdamai dengan Belanda. Sementara Kerajaan Suppa yang diserang pada tanggal 4 Agustus 1824 ternyata sangat siap melawan Belanda dengan 4.000 serdadu.

Usaha de Stuers untuk membentuk pertahanan pun gagal karena serangan dari Suppa banyak menewaskan perwira-perwiranya. Di sisi lain, Bone bersikap ofensif dengan menduduki bekas wilayah Tanete dan mengangkat kembali bekas rajanya. Gubernur Jenderal menyaksikan kondisi ini dan memperkuat posisi-posisi yang masih dikuasai Belanda, dan mengirimkan bantuan militer sebanyak mungkin.

Perlawanan ketiga kerajaan melawan Belanda ini mulai menurun ketika Tanete dikuasai oleh raja perempuan yang memilih untuk berdamai dengan Belanda. Sehingga mengurangi perlawanan terhadap Belanda, meskipun Bone dan Suppa belum dapat ditaklukkan oleh Belanda sepenuhnya. Perlawanan semacam ini terus berlangsung bahkan sampai abad ke-20. Artinya, Belanda tidak pernah benar-benar dapat menduduki wilayah Sulawesi Selatan sepenuhnya.

Artikel: Perlawanan Rakyat Sulawesi
Kontributor: Noval Aditya, S.Hum.
Alumni Sejarah FIB UI

Lihat juga materi Sejarah lainnya di StudioBelajar.com: